Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. (QS. Al Mulk: 15).

Kesaksian Korban Tragedi Mina 2015

Tragedi Mina pada 24 September kemarin masih meninggalkan trauma hebat di hati para korbannya. Tak terkecuali Pak Ali Munif, seorang jama’ah haji Indonesia yang mengaku menjadi ketua rombongan 1 dari kloter 29 SOC.

Beliau mengisahkan kembali peristiwa itu di akun facebooknya dengan penuh penghayatan, sesuai keadaan hatinya, yang menurutnya masih trauma. Siapkan tisu, susun doa-doa, kirimkan al Faatihah kepada para syuhada’ haji, semoga kita termasuk golongan yang mendapat barokah dari para syuhada’ dan dapat mengambil hikmah dari kisah ini…aamiin. Selamat membaca!

————————————————————

Tragedi Mina 2015
“Hanya Karena Pertolongan Allah maka Kami Bisa Selamat”
Aku adalah ketua rombongan yang kehilangan anggotanya.
Aku adalah ketua rombongan yang sampai saat ini masih terbayang jelas peristiwa tragis di Mina itu.
Aku adalah ketua rombongan yang setiap malam terganggu tidurku karena bayangan- bayangan Mina masih saja berseliweran di depanku.
Aku adalah ketua rombongan yang masih merasa berduka hingga tulisan ini aku turunkan….
  1. Mentari Menampakkan sinarnya. Angin bertiup sepoi sepoi menyapu tenda-tenda yg berdiri berjajar di Mina. Dari Mina Jadid, lokasi baru bagi pertambahan daerah Mina, rombongan kami berangkat menuju Jamarat. waktu menunjukkan pukul 07:30 WAS. Tidak ada yang berbeda pagi itu semua nampak sama dengan hari sebelumnya.
  2. Rombongan bergerak pelan menyusuri King Malik Fahd Road. Jalanan telah ramai oleh jamaah dari berbagai negara yang menyemut menuju Jamarat. Jarak tenda dengan Jamarat + 4 km.
  3. Rombongan kami berjumlah 28 orang, termasuk diantaranya Bpk Ardani (korban meninggal yang usianya 75 tahun) naik kursi roda yang didorong oleh anak kandungnya bernama Taufik. Beberapa anggota yg sudah udzur dan lemah dari segi fisik tetap tinggal di tenda, untuk kemudian mewakilkan lemparan jamaratnya kepada rekannya. Pak Ardani pagi itu terlihat semangat sekali, meski berada di atas kursi roda kumandang talbiyah tidak pernah lepas dari mulutnya. malam hari sebelum keberangkatan sebenarnya pak Ardani sudah ditawarkan opsi untuk mewakilkan lemparan kepada putranya, Taufik. Tetapi beliau tetap bersikukuh untuk tetap ikut melempar.
  4. Ketika rombongan kami berjalan setapak demi setapak di jalur King Malik Fahd Road jalanan masih lancar dan nyaman. Ketika sampai di road 23 jalan sudah ditutup oleh petugas dan jamaah diarahkan belok kiri, lalu ke kanan hingga sampai di jalan 204.
  5. Jalanan telah padat oleh jamaah haji yg berjubel menuju Jamarat. Padat merayap kalau meminjam istilah bahasa kekinian. Sesampai di street 217 laju manusia yang menyemut mulai macet. Sehingga akhirnya benar-benar berhenti kurang lebih 5 menit. Sampai saat ini aku pun masih bertanya gerangan apa yg membuat manusia sedemikian banyak terhenti. Sengatan Matahari yang demikian panas membuat suasana semakin penuh sesak dan berkeringat. Keringat mulai bercucuran dari para jamaah haji hingga membasahi pakaian ihram.
  6. Di tengah-tengah kondisi yang demikian terdengar suara gaduh dari depan. Kebetulan satu blok ke depan rombongan haji rata-rata terdiri dari kulit hitam. “Mafi thoriq…mafi thoriq” — tidak ada jalan) Mereka mulai gelisah, panik dan dan tidak sabar. Secara spontan barisan orang yg berjarak 10 m dari hadapan kami berbalik arah. Mereka menerjang arus. Kami sudah meneriakkan kata kata ISBIR-ISBIR (bersabarlah-bersabarlah) gelombang mereka semakin dekat. Kami mengatakan: ” NO… NO… NO… stop…stop!! sambil memberi isyarat telapak tangan. Aku (Munif) selaku Karom (ketua rombongan) yang berjalan paling depan, kebetulan postur tubuhku juga tinggi, sehingga dapat melihat suatu yang berbahaya sedang menuju ke arah kami.
  7. Jama’ah haji Afrika ini punya ciri : a. Postur tubuh tinggi besar, b. Kurang sabar, c. Kurang peduli dengan jama’ah haji negara lain. melihat gelagat yang demikian aku segera berkata kepada rombonganku : “Balik kanan, karena jama’ah haji Afrika akan melibas kita”. Keadaan benar benar mencekam, karena suara jerit tangis orang orang sekitarku terdengar bersahutan. Anak kecil dalam gendongan ibunya di depanku menjerit tidak karuan. Rombonganku kesulitan untuk berbalik arah karena tekanan dari arah belakang juga cukup kuat. Dan terjadilah benturan itu….terjangan orang-orang kulit hitam bagaikan air bah.
  8. Aku dan rombonganku terhempas dan terjatuh. Usaha kami melindungi pak Ardani yang berada di atas kursi roda sia-sia. Kami kalah dari segi fisik, tenaga dan jumlah. Kami tak tahu lagi berapa badan yang menimpa kami, yang jelas aku merasakan jama’ah haji Afrika berjalan melangkah di atas tubuh kami tiada henti.
  9. Saat iringan rombongan, Mas Taufik mendorong almarhum ayahnya dengan kursi roda, sementara aku, Mas Danang, Pak Tugiarto, Pak Musthofa dan jama’ah lainnya melindungi disekitarnya. Begitu terjatuh, Mas Danang di posisi paling bawah terlentang, di atasnya adalah almarhum Pak Ardani dengan posisi masih dalam kursi roda, dan di atasnya lagi badan jama’ah yang lain.
  10. Dalam posisi kaki kanannya tertindih kursi roda dan badan jama’ah lainnya, Mas Danang terus melantunkan dzikir menyebut nama Allah Swt, dan berkata : “Yaa Allah, saya serahkan diri hamba kepada-Mu, lindungilah kami Yaa Allah, jika Engkau mau menyabut nyawa saya, insya Allah saya siap Yaa Allah..”. Lanjut mas Danang : “Subhanallah, di atas badan saya seperti ada tabir yang melindungi kami, kaki-kaki jama’ah haji Afrika itu hanya melangkah di atas kami, tidak menyentuh badan kami”.
  11. Begitu juga yang dialami Mas Afri bersama ibundanya bernama Walsriyati, dalam kondisi badannya yang tertimpa oleh badan jama’ah lain hanya bisa menyaksikan namun tak berdaya untuk menolong ibunya yang berada di dekatnya. Kata Bu Walsriyati : “Saya terduduk berada diantara tumpukan badan jama’ah haji, tapi subhanallah di atas badan saya seperti ada tabir yang melindungi, sehingga saya tak terinjak oleh kaki jama’ah Afrika”. Begitu kondisi normal segera Mas Afri menarik tangan ibunya untuk memberi pertolongan. Pak Suraja juga tidak kalah mengenaskan. Ia terjatuh terlentang dan tertindih orang orang kulit hitam. Allah masih menolong pak Suraja. Justeru karena tertindih beban orang di atasnya ia selamat tidak terinjak-injak meski tangan dan kakinya lecet dan memar-memar.
  12. Kembali ke Mas Danang tadi, begitu kondisi sudah tidak penuh sesak, dia akan ditolong dengan cara ditarik badannya. Kata Mas Danang: “Jangan tarik badan saya, karena kaki kanan saya masih tertindih besi kursi roda, badan almarhum Pak Ardani dan badan jama’ah lainnya. Tolong beban di atas saya diambil lebih dulu”. Ternyata di atas mata kaki kanan Mas Danang didapati luka yang menganga, seperti mata banteng, merah menyala.
  13. Pak Ardani berhasil dikeluarkan dari kursi roda. Kursi roda dalam kondisi rusak tidak karuan. Jam menunjukkan pukul 09:00 WAS. Situasi dan kondisi jalan masih penuh oleh manusia yang tumpah tindih. Dengan sisa kekuatan yg ada, Mas Taufik, Mas Danang dan dibantu 1 orang Afrika, mengangkat tubuh Pak Ardani (beliau masih sadar). mereka menggotong pak Ardani ke ruang Fire truck persis di pertigaan street 217. Manusia saat itu seperti anai-anai, jalanan penuh mayat berserakan. Matahari semakin panas memancarkan sinarnya. Nafas setiap orang saling memburu. Mereka mengalami dehidrasi hebat. Mas Danang mencari minum dengan memanfaatkan air kran toilet di ruang fire truck tersebut. Dengan bergantian Mas Taufik, Mas Danang, Pak Suraja bergantian mengipasi Pak Ardani. Suara ambulan mulai terdengar. Polisi dan askar mulai menyibak jalanan yang penuh oleh lautan manusia. Banyak mayat bergelimpangan, bertindihan, berserakan. ada yang tergelepar, tengkurap dan sebagian terlihat kembang kempis, nafasnya sangat pelan. Hanya matanya menatap penuh harap,sambil menunggu detik-detik ajal menjemput mereka.
  14. Kemudian rombongan kami melakukan konsolidasi di lokasi yang cukup aman setelah terpisah karena terjangan manusia yang demikian dahsyat. Dengan sisa personil yg ada, aku selaku Karom memegang kendali dan memutuskan kegiatan lempar jumroh aqobah tetep harus berjalan,dan diwakilkan 5 orang aku, Afri Nurjayanta, pak Bambang Wardoyo, pak Rochadi Heryanto, dr Mahad nur Mudaris selaku dr kloter. Sementara rombongan Ibu-ibu diamankan dititipkan di Maktab Algeria. Alhamdulillah 5 orang tersebut berhasil melaksanakan kegiatan lempar Jumroh Aqobah mewakilkan 34 orang Jamaah rombongan 1. Bersama 4 orang ini aku berusaha kembali ke lokasi ibu-ibu di street 217. Rupanya jalanan telah banyak ditutup oleh petugas. Tidak jarang kami harus bermain kucing-kucingan demi menyidat arah dan jarak. Jam menunjukkan pukul 11.45 WAS, ternyata hampir 3 jam almarhum Ardani belum mendapat pertolongan medis. Kondisi saat itu demikian mencekam. Kami berjalan melewati tumpukan mayat dan jasad jasad manusia yg berserakan di sepanjang jalan 204. air menggenang (semprotan dari pemadam kebakaran untuk memberikan kesejukan bagi mereka yang masih hidup dan mengalami dehidrasi hebat), jalanan penuh sesak oleh polisi dan ambulan. Polisi, askar dan petugas hilir mudik silih berganti. Raungan sirine ambulan menyalak seperti lolongan hantu kematian.
  15. Mas Danang dan mas Taufik secara bergantian meminta bantuan tenaga baik dari team medis, askar maupun tenaga medis lainnya. Semuanya kalut. kami minta bantuan tenaga askar dan team fire brigade tak ada yg mau membantu. Bantuan mulai berdatangan, kami berebutan minuman kemasan 330ml. Ketika dapat kami langsung berbagi dengan jamaah lain yg menjadi korban. Alhamduillah akhirnya mas Taufik mendapatkan tandu untuk pak Ardani. rupanya begitu pak Ardani mau ditempatkan ditandu ada seorang yang merintih memilukan, kami tidak tega. Tandu itupun kami berikan kepadanya. Kami mencari tandu yang lain. Disaat seperti itu tidak ada askar/team pemadam yg membantu kami. Mungkin semuanya panik.
  16. Kata almarhum Pak Ardani : “Dada saya sesak,tolong minta oksigen”. Mas Danang dan Mas Taufik bergantian mencari tabung gas oksigen, tetapi tidak memperopleh karena situasi yang carut marut.Akhirnya aku mencari bantun relawan Arab utk mengangkat tandu Pak Ardani menuju Ambulance yg silih berganti berhenti di tempat kejadian. Taufik mencoba mencari ambulan yang kosong sementara Pak Ardani masih ditandu. Ambulance masih saja penuh. Setelah 5 ambulance lewat, didapati satu ambulance yg membuka pintu. Itu pun setengah dipaksa dan digedor-gedor pintunya oleh Taufik. Pintu terbuka, aku dan relawan tadi mengangkat pak Ardani naik ke ambulance menuju rumah sakit. Namun yang boleh mendampingi masuk ke rumah sakit hanya Mas Taufik putra almarhum. Kami tinggal di lokasi. Begitu kami mau menghubungi mas Taufik, rupanya tas paspor , hp dan lainnya tertinggal jadi satu, pasca kejadian, di mas Danang. Jadilah mas Taufik sendirian, tanpa HP, tanpa tas paspor, tanpa uang. Allahu akbar……Selepas maghrib baru kami mendapati Taufik kembali ke tenda, dengan hanya mengenakan pakaian ihram. Mukanya tampak mendung. Suram. Aku menduga pasti terjadi sesuatu dengan pak Ardani. Aku memeluk Taufik dengan sangat erat. Sambil menanyakan kabar “Pak Munif…..bapak sudah tiada!”. Pecahlah tangis kami.
Innaa lillahi wa innaa ilaihi roji’un.
Selamat jalan pak Ardani. Semoga engkau syahid di sisi-Nya. Kami akan mengenangmu selamanya.
Maafkan saya jika dalam mengawal bapak kurang maksimal.
Maafkan saya bapak.
Maafkan saya.
M. Ali Munif, S.Ag
Karom romb. I kloter 29 SOC.

Sumber : suara-nu.com